Sepuluh Ribu Rupiah
Oleh Sygma Daya Insani | Jum'at, 20 September 2013 09:45 WIB | 153850 Views
sygmadayainsani.co.id - Sepuluh Ribu Rupiah - Menjelang shalat Isya, seorang wartawan duduk kelelahan di halaman sebuah masjid. Perutnya bertalu-talu karena keroncongan. Kepalanya clingak-clinguk mencari tukang jual makanan, tapi tidak menemukan. Dari wajahnya tampak gurat-gurat kekecewaan. Usut pu
sygmadayainsani.co.id - Sepuluh Ribu Rupiah - Menjelang shalat Isya, seorang wartawan duduk kelelahan di halaman sebuah masjid. Perutnya bertalu-talu karena keroncongan. Kepalanya clingak-clinguk mencari tukang jual makanan, tapi tidak menemukan. Dari wajahnya tampak gurat-gurat kekecewaan.
Usut punya usut, si wartawan ini tengah kecewa berat karena gagal bertemu dengan seorang tokoh yang hendak diwawancarai. Betapa tidak kecewa, sejak siang hari ia sudah mengejar-ngejar tokoh tersebut. Siang hari mereka janji ketemu di sebuah kantor, beberapa saat sebelum waktu pertemuan itu berlangsung, tokoh penting ini mendadak membatalkan janji, ada acara mendadak katanya. Militansinya sebagai seorang wartawan untuk mendapatkan berita telah membuat pria muda ini mendatangi hotel di mana si pejabat melaksanakan meeting.
Sepuluh Ribu RupiahDua jam lamanya ia menunggu. Tapi sial, si pejabat itu keluar dari pintu samping hotel sehingga tidak sempat bertemu sang wartawan. Tidak mau patah arang, ia segera mencari tahu di mana keberadaan pejabat itu. Ia pun mendapatkan informasi kalau orang yang dicarinya itu sudah pulang ke rumahnya di sebuah kompleks perumahan elite. Tanpa banyak pikir, sang wartawan tancap gas. Dengan motornya yang sudah agak butut, ia medatangi perumahan tersebut. Walau harus tanya sana tanya sini, akhirnya ia bisa sampai ke rumah si pejabat.
Aduh maaf Mas, Bapaknya barusan pergi lagi. Ada pertemuan lagi katanya. Tapi Bapak nggak bilang di mananya, kata si penghuni rumah.
Lunglailah kaki si wartawan. Ia pun pergi. Berkali-kali ia coba mengontak si pejabat, tapi berkali-kali pula ponselnya tidak diangkat. Sudah terbayang dibenaknya kalau nanti malam ia akan ditegur atasannya karena tidak mampu mendapatkan berita. Perutnya yang keroncongan seakan menambah derita.
Saat duduk di masjid itulah, ia melihat seorang kakek yang baru saja menunaikan shalat Maghrib. Dipandanginya kakek itu. Tampangnya sangta tidak meyakinkan, tinggi, kurus, jambang putihnya tidak terurus, pakaiannya sangat sederhana dan sudah luntur warnanya, sandal jepitnya pun sudah butut. Kakek itu menghampiri sebuah tanggungan kayu bakar. Lalu, mengambil topi dan duduk melepas lelah tak jauh dari tempatnya si wartawan. Kerutan wajahnya yang hitam terbakar matahari seakan tampak makin mengkerut karena kelelahan.
Cep, peryogi suluh henteu? Peserlah suluh anu Bapa, ieu ti enjing-enjing teu acan pajeng! kata Pak Tua kepada si wartawan. Maksudnya, ia menawarkan kayu bakar yang dibawanya karena sejak dari pagi tidak laku-laku. Punten Bapa, abdi di bumi teu nganggo suluh, (Maaf Bapak, saya di rumah tidak menggunakan kayu bakar) jawabnya. Oh muhun, teu sawios. Mangga atuh, Bapa tipayun, (Oh iya, nggak apa-apa. Kalau begitu permisi, Bapak Duluan), ujar Pak Tua penjual kayu bakar itu.
Sebelum Pak Tua itu pergi, si wartawan segera mengambil dompet. Dilihatnya hanya ada uang 10 ribu, satu-satunya, plus beberapa keping uang receh. Itulah hartanya yang tersisa pada hari itu untuk makan dan membeli bensin. Namun, semua fakta ia abaikan. Ia berikan uang sepuluh ribu itu kepada Pak Tua. Walau awalnya menolak, tapi akhirnya ia menerimanya pula. Sambil menahan tangis haru, Pak Tua berkata, Hatur nuhun Kasep, tos nulungan Bapak. Mugi-mugi Gusti Alloh ngegentosan kunu langkung ageung; Terima kasih Cakep, sudah menolong Bapak, semoga Gusti Allah menggantinya dengan yang lebih besar. Ternyata, Bapak ini sejak pagi belum makan dan tidak punya uang untuk pulang.
Selembar 10 ribu telah mengubah segalanya. Karena ia telah sudi memasukkan rasa bahagia kepada saudaranya yang tengah kesusahan, Allah Swt. pun langsung membalasnya dengan memasukan rasa bahagia yang berlipat-lipat ke dalam hatinya. Rasa lapar, penat, dan hati dongkol yang sebelumnya mendominasi diirnya langsung hilang sirna berganti kelapangan dan kebahagiaan. Uang 10 ribu itu benar-benar memberikan kepuasan yang sensasinya sulit terlupakan. Ia tidak bisa berkata apa-apa, selain dari tetesan air mata bahagia. Terima kasih ya Allah engkau telah memberiku rezeki sehingga bisa berbagi, gumamnya.
Tak lama kemudian, datanglah karunia yang kedua. Ponselnya tiba-tiba berbunyi, dilihatnya sebuah pesan dari atasannya kalau ia tidak perlu lagi mengejar si pejabat karena ada narasumber lain yang lebih kompeten yang siap diwawancara seorang rekannya. Ia hanya memberi penugasan untuk meliput sebuah acara syukuran di salah satu hotel berbintang. Karunia Allah yang ketiga pun segera datang, di sela-sela acara liputan di hotel itu, sang wartawan dipersilahkan oleh panitia untuk menikmati hidangan mewah yang tersedia sepuasnya. Menjelang pulang, ia mendapatkan sebuah doorprize dan beberapa buah bingkisan sebagai ucapan terima kasih dari pihak penyelenggara. Malam yang indah ... ujarnya.
---
Sedekah yang diberikan secara ikhlas, akan mendapat balasan berlipat dari Allah Swt. Allah Swt tidak akan pernah lupa untuk membalas kebaikan manusia, walaupun hanya sebiji sawi. Balasan tersebut akan disampaikan Allah Swt dalam berbagai bentuk.
Penyair muslim terkenal, Jalaludin Rumi, mengungkapkan pastinya janji Allah untuk membalas kebaikan yang diberikan manusia kepada sesama makhluknya.
Walau balasan untuk kebaikan dan kejahatan itu dijanjikan Tuhan pada Hari Kebangkitan, tetap saja muncul suatu keadaan yang mewakili balasan itu. Apabila manusia bergembira di dalam hatinya, itu adalah balasan karena telah membuat orang lain bahagia. Apabila sedih, itulah balasan karena telah membuat orang lain sedih. Terdapat suatu bentuk balasan sebagai pemisah Hari Kebangkitan - Jalaluddin Rumi
Sumber: Sulaiman Abdurrahim. Agar Para Malaikat Berdoa Untukmu. Arkanleema. 2011.
Kisah Hikmah Lainnya
-
Merengkuh Hidayah Menuai Ma`unah
Seringkali kita mendengar seseorang yang belum melakukan kebaikan atau belum menunaikan syariah Islam beralasan "Belum mendapat hidayah."
-
Kisah Nenek yang Cinta Rasulullah
Sygma Daya Insani - Kisah Nenek yang Cinta Rasulullah - Dahulu, di sebuah kota di Madura, ada seorang nenek penjual bunga cempaka. Ia menjual bunganya di pasar, setelah berjalan kaki cukup jauh. Usai jualan, ia pergi ke Masjid Agung di kota itu. Ia berwudhu, masuk masjid, dan melakukan shalat Zuhur