Parenting dan Anak Sygma Daya Insani

MENGAJAR ANAK HIDUP SEDERHANA DI ZAMAN NOW

Jum'at, 16 November 2018 07:56 WIB | 49838 Views

menurut Islam sederhana itu bukan miskin. Tetapi lebih ke arah usaha mengendalikan diri agar di satu sisi ia tidak berkekurangan dan di sisi lain tidak berlebih-lebihan. Ciri khas orang sederhana adalah meskipun terhadap perkara yang dibolehkan, ia tetap memilih yang seperlunya saja.

MENGAJAR ANAK HIDUP SEDERHANA DI ZAMAN NOW? Oleh: Kak Eka Wardhana, Rumah Pensil Publisher Dulu (mudah-mudahan sekarang sudah tidak ada), ada beberapa kampung di beberapa daerah di Indonesia yang mempunyai kebiasaan tak lazim. Dimana sebagian (tidak semua) pemuda hanya duduk-duduk mengobrol atau pergi mengadu hewan. Ketika pulang, tak ada niat mencari rezeki dan nafkah. Sementara yang bersusah payah turun ke sawah, ladang dan kebun adalah kaum wanita. Tahukah Anda bagaimana kesudahan hidup para pemuda ini? Ketika sudah tua mereka biasanya disingkirkan dan tinggal di gubuk-gubuk reot, tidak dihargai oleh anak dan keponakannya sendiri. Sebab di saat muda, mereka hanya kongkow-kongkow, tak mau berusaha. Sementara di tempat lain ada juga yang terjadi kebalikannya: banyak yang bersungguh-sungguh mencari rezeki. Begitu giat sampai bekerja siang malam, pagi dan petang. Ia lupa kesehatan, lupa tidur, lupa makanan enak, bahkan terkadang lupa memakai pakaian yang bagus. Bagaimana kesudahan hidup mereka? Mereka melewati hidup tanpa menikmatinya, sebab kerja mereka hanya mengumpulkan harta, bukan membelanjakannya. Orang-orang yang disebut pertama adalah contoh golongan yang suka memperturutkan hawa nafsunya. Dihabiskannya harta, dirusaknya nama baiknya bahkan bangsa dan negara pun akan rela ia gadaikan. Tak peduli hinaan orang dan kutukan Tuhan, karena semua gerakannya hanya mengikuti seruan syahwat. Akhirnya rusak binasa jasmani dan rohaninya serta jatuh dalam lembah kehinaan. Sementara orang-orang yang disebut kedua adalah contoh golongan orang yang membelakangi kehendak syahwatnya. Tidak diberinya kesempatan syahwat untuk disalurkan pada tempatnya, tidak mau memakan makanan enak, atau berpakaian bagus, atau bahkan enggan menikah. Maka ia pun akan rusak dan lemah. Di antara kedua golongan ini terletaklah golongan ketiga, yang menempuh gaya hidup yang seperti yang diajarkan Islam: Mereka tidak memperturutkan syahwat, tetapi diberinya juga sedikit penyaluran di tempat yang telah ditentukan agama. Mereka tidak menyia-nyiakan masa muda, melainkan bekerja untuk persiapan di hari tua. Tetapi dalam mencari rezeki itu tidak dilupakan dirinya, ia cukupkan sedikit rezeki untuk dirinya sehingga tidak jatuh mengazab diri. Alasannya sangat masuk akal: ia bekerja untuk diri dan keluarganya, jadi mengapa diri dan keluarganya malah tidak mendapat manfaat dari hasil pekerjaannya itu? Golongan pertama tercela karena berlebih-lebihan, golongan kedua tercela karena terlalu berkekurangan, golongan ketiga terpuji karena menempuh jalan tengah, yaitu jalan kesederhanaan. Dulu saya pernah dicela halus karena menutup seminar dengan contoh kesederhanaan hidup Rasulullah dan para sahabat. Orang yang mencela halus ini merasa mengajarkan anak contoh kesederhanaan Rasulullah akan membuat anak-anak tak termotivasi untuk menjadi kaya. Di satu sisi celaan halusnya itu memang beralasan, karena saya tahu beliau sendiri sedang berjuang membangkitkan ekonominya dan ekonomi para karyawannya. Namun di sisi lain ada salah pandang tentang konsep kesederhanaan. Sebenarnya, menurut Islam sederhana itu bukan miskin. Tetapi lebih ke arah usaha mengendalikan diri agar di satu sisi ia tidak berkekurangan dan di sisi lain tidak berlebih-lebihan. Ciri khas orang sederhana adalah meskipun terhadap perkara yang dibolehkan, ia tetap memilih yang seperlunya saja. Meski mampu, orang sederhana akan memilih mobil biasa, bukan mobil mewah. Demikian juga dengan keperluannya yang lain. Dalam beribadah, meski mampu orang sederhana tidak akan melebihi ketentuan. Berlebihan dalam ibadah sehingga melebihi takaran Rasulullah adalah bid???ah. Berkekurangan dalam ibadah, dikhawatirkan akan jatuh dalam sikap munafik. Jadi yang selamat adalah jalan tengah, jalan sederhana. Mengajarkan anak hidup sederhana bukan membuatnya nanti tak punya motivasi untuk bekerja keras, tetapi mengajarkannya untuk hidup seimbang. Mengajar anak hidup sederhana justru memotivasinya untuk berusaha agar tidak berkekurangan. Sebab sederhana itu pilihan. Miskin bukan pilihan tetapi keterpaksaan. Bahkan seringkali kaya juga bukan pilihan tetapi keadaan yang harus ia terima, contohnya bila kita lahir dari keluarga kaya raya. Yang murni dipilih adalah kesederhanaan. Karena harus memilih itulah, maka anak perlu diajarkan caranya. Alasan lain mengapa anak harus diajarkan memilih hidup sederhana adalah karena sederhana adalah gaya hidup yang paling dekat dengan kebahagiaan. Menjadi kaya tanpa mental sederhana yang diajarkan Rasul akan berbahaya, sebab ia akan terus meminta dan meminta, menagih dan menagih. Persis orang kehausan minum air laut, semakin diminum semakin haus. Bukankah hampir seluruh koruptor kakap itu pada dasarnya adalah orang-orang yang mampu dan berkecukupan? Kenapa orang sederhana lebih bahagia? Karena ia akan selalu bersyukur dengan apa yang ada dan apa yang ia peroleh. Ia berjuang dengan sungguh-sungguh meraih sesuatu, tetapi hasilnya akan ia terima dengan penuh rasa syukur, berhasil ataupun tidak. Itulah ciri orang sederhana. Jadi, mengajarkan kesederhanaan berarti mengajar anak cara hidup lebih bahagia dan penuh rasa bersyukur. Salam Smart Parents!

Parenting dan Anak Lainnya
Produk Pilihan

Paket Buku Pintar Iman & Islam (B.

Detail