Parenting dan Anak Sygma Daya Insani

Ancaman Kekerasan pada Anak : Kekerasan Fisik dan Pengaruhnya pada  Anak Usia Dini

Ancaman Kekerasan pada Anak : Kekerasan Fisik dan Pengaruhnya pada Anak Usia Dini

Oleh Sygma Inovation | Senin, 08 April 2019 14:22 WIB | 83012 Views

Tanda-tanda kekerasan terhadap anak tidak selalu nampak jelas, dan mungkin tidak akan memberi tahu siapapun mengenai apa yang terjadi pada mereka. Namun, korban kekerasan fisik bisa diedukasi, diberikan pendampingan, dan terapi untuk memulihkan psikisnya.

Jumlah kekerasan terhadap anak setiap tahunnya cenderung meningkat. Media massa kerap mengungkap berbagai kasus kekerasan terhadap anak. Namun, masih banyak yang menutupi atau tidak melaporkannya.
 
Pelaku yang melakukan kekerasan pada anak biasanya adalah orang terdekat, yaitu keluarga dan pengasuh. Kadang, kekerasan diterima secara sosial karena dianggap sebagai bagian normal dari pertumbuhan dan perkembangan anak.
Perilaku orang tua berpengaruh terhadap perkembangan anak-anak ber-gender sama. Anak perempuan lebih banyak mendapat kekerasan dari ibunya, dibandingkan kekerasan oleh ayah. Begitu pula perilaku anak laki-laki yang terkait erat dengan pengalaman mereka bersama ayahnya.
Survei kekerasan terhadap anak di Indonesia pada kelompok umur 18 – 24 tahun yang mengalami kekerasan sebelum umur 18 tahun, menunjukkan dampak kesehatan yang muncul akibat tindakan itu. Perilaku dominan adalah perokok dan pemabuk, selain keinginan menyakiti diri dan bunuh diri.
Terry E. Lawson, seorang psikolog dan penulis buku Parenting: What We Need to Know to Make a Difference membagi kekerasan terhadap anak menjadi beberapa jenis, salah satunya kekerasan fisik (Physical Abuse).
Apa itu Physical Abuse (Kekerasan Fisik)?

  • Terjadi ketika orang tua atau pengasuh memukul/menjewer/mencubit dan melakukan perbuatan yang menyakitkan fisik lainnya. Biasanya, dilakukan untuk mengondisikan anak sesuai keinginan orang tua atau saat anak ingin sesuatu.
  • Anak dapat mengingat kekerasan fisik yang dilakukan terhadapnya.
  • Penelitian University of Wisconsin menemukan bahwa anak yang memiliki kekerasan fisik memiliki amigdala dan hippocampus yang lebih kecil pada usia 12 tahun, daripada anak-anak tanpa riwayat stres. Mereka yang memiliki amigdala dan hippocampus terkecil juga memiliki masalah perilaku, seperti berkelahi atau bolos sekolah.
  • Amigdala terlibat dalam pengaturan emosi, pengambilan keputusan, juga pengaturan emosi, juga penting untuk pembentukan ingatan. Hippocampus yang lebih kecil pada anak-anak yang mengalami pelecehan, bisa menghadirkan rintangan untuk belajar dan menghambat pembelajaran di sekolah.
Tanda-tanda kekerasan terhadap anak tidak selalu nampak jelas, dan mungkin tidak akan memberi tahu siapapun mengenai apa yang terjadi pada mereka. Namun, korban kekerasan fisik bisa diedukasi, diberikan pendampingan, dan terapi untuk memulihkan psikisnya.
Dengan adanya beberapa kasus kekerasan ini diharapkan orang tua bisa menciptakan lingkungan yang aman. Harapannya agar kelak sang buah hati tumbuh menjadi anak yang cerdas akalnya dan mulia akhlaknya.

Parenting dan Anak Lainnya
Produk Pilihan

Multi Set (24NR-RATU).

Detail
Rekomondasi Blog