Dalam keadaan tertentu, syariah Islam memberikan keringanan kepada orang-orang tertentu dan membolehkan mereka untuk tidak berpuasa dan dengan tidak berdosa. Hal ini adalah bentuk keringanan yang Allah berikan kepada umat Muhammad SAW. Allah SWT berfirman:

“Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain. Bagi mereka yang tidak mampu, maka boleh tidak berpuasa dengan keharusan memberi makan kepada orang-orang miskin.” (QS. Al-Baqarah : 184)

Dari ayat di atas kita menemukan beberapa orang yang diberikan keringanan untuk tidak puasa, tanpa harus menanggung dosa di akhirat. Namun mereka tetap diwajibkan untuk mengganti kewajiban itu, baik lewat qadha’ puasa di hari lain, atau pun lewat fidyah yang berupa memberi makan fakir miskin Orang-orang yang diperbolehkan tidak berpuasa di bulan Ramadhan yaitu:

1. Musafir

Musafir adalah orang yang melakukan perjalanan jauh sejauh jarak (yang dianggap) safar. Jarak safar menurut mazhab yang paling kuat (rajih) adalah jarak yang dianggap oleh adat atau masyarakat setempat sebagai safar. Orang yang melakukan safar boleh untuk tidak berpuasa sebagaimana firman Allah sawt.:

“Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain.” (QS. Al-Baqarah: 184)

Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami yang dia adalah orang yang banyak melakukan puasa, bertanya kepada Rasulullah saw.: “Apakah saya berpuasa di waktu safar?” Beliau menjawab: “Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau.” (HR. Bukhari)

Hadits di atas (dan beberapa lagi hadits lain) menunjukkan diperbolehkannya tidak berpuasa bagi orang yang melakukan safar. Dan bagi yang berkehendak berpuasa, maka puasa tersebut dilakukan bila ia memang mampu dan diperkirakan tidak membawa mudarat terhadap dirinya.

“Dan mereka (para sahabat) berpendapat bahwa barang siapa mempunyai kemampuan, maka berpuasa lebih baik baginya. Dan barang siapa yang merasa lemah, maka berbuka lebih baik baginya.” (HR. Tirmidzi)

Orang yang Sakit

2. Orang yang Sakit

Dalam hal ini para ulama menyebutkan bahwa tidak semua jenis penyakit dibenarkan untuk dijadikan alasan bagi mereka yang tidak puasa. Hanya penyakit yang berakibat fatal saja dibenarkan. Sakit yang diperbolehkan untuk seseorang berbuka adalah sakit yang jika ia berpuasa dalam keadaan tersebut akan membahayakan dirinya, menambah sakitnya, atau dikhawatirkan menyebabkan lambatnya kesembuhan.

“Dan siapa yang dalam keadaan sakit atau dalam perjalanan maka menggantinya di hari lain.” (QS Al-Baqarah: 185)

3. Wanita Haid Atau Nifas

Para ulama’ sepakat bahwa wanita yang sedang haid atau nifas tidak boleh berpuasa, dan keduanya harus berbuka dan mengqadha’ (mengganti) di hari yang lain. Dan bila keduanya berpuasa, maka puasanya tersebut tidak sah.

4. Orang Lanjut Usia dan Wanita yang Lemah

Allah sawt. berfirman: “Barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (ia wajib mengganti) sejumlah hari yang ia tinggalkan pada hari-hari lain. Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak puasa) membayar fidyah yaitu memberi makan seorang miskin” (QS. Al-Baqarah : 184).

Ibnu ‘Abbas Ra. mengatakan, “Dia adalah orang tua yang sudah tidak mampu berpuasa. Maka ia berbuka dan memberi makan kepada orang miskin setiap hari sebanyak setengah sha’ gandum” (HR. Ad-Daruquthni)

Jadi, orang yang tidak mampu berpuasa karena usia tua berkewajiban membayar fidyah untuk orang miskin sebagai ganti hari yang ia tinggalkan.

5. Wanita yang Mengandung dan Menyusui

Di antara keagungan rahmat Allah sawt. kepada hamba-Nya yang lemah adalah pemberian rukhshah (keringanan) untuk berbuka puasa kepada wanita hamil dan menyusui.

Dari Anas bin Malik: |Seorang laki-laki dari Bani Abdillah bin Ka’b Ra. berkata: Datang kuda Rasulullah saw. kepada kami lalu aku mendatangi beliau, dan ternyata aku mendapatkan beliau sedang makan. Kemudian beliau bersabda, “Mendekatlah dan makanlah.” Aku menjawab, “Aku sedang puasa.” Beliau bersabda, “Mendekatlah, akan aku ceritakan kepadamu tentang puasa. Sesungguhnya Allah sawt. memberikan keringanan dari setengah shalat bagi seorang musafir, dan memberikan keringanan dari beban puasa bagi wanita hamil dan menyusui”. Demi Allah, Nabi saw. benar-benar telah mengucapkan keduanya atau salah satunya, dan aku benar-benar berselera untuk makan makanan Rasulullah saw.” (HR. Tirmidzi)

Menyayangi janin dan bayi yang disusui itu hukumnya wajib, tetapi hal tersebut tidak bisa dilakukan jika sedang berpuasa, maka berbuka menjadi wajib hukumnya. Karena kewajiban tersebut, puasa menjadi gugur (tidak wajib).

Bagi wanita hamil dan/atau menyusui, menurut pendapat yang paling kuat (rajih), bagi mereka hanyalah dibebani membayar fidyah saja tanpa ada kewajiban mengqadha. Allah tidak mewajibkan qadha kecuali atas orang sakit, musafir, wanita haid, wanita nifas, dan orang yang muntah dengan sengaja.

 

Referensi
Al Jauzza’, Al Akh Al Fadhil Abu. Ringkasan Hukum-hukum Puasa. Diakses di https://scholar.google.co.id/scholar?start=10&q=makan+sahur+keutamaan&hl=id&as_sdt=0,5#d=gs_qabs&u=%23p%3D_e7L4c_IhvoJ pada 25 Maret 2022.
Hazm, Ibnu. Al Muhalla. Penerjemah: Ali Murtadho. Jakarta: Pustaka Azzam, 2011.
Zarkasih, Ahmad. Bekal Ramadhan. Jakarta: Rumah Fiqh Publishing, 2020.